Kopiitudashat's Blog

July 14, 2009

Masuknya China Sebagai Anggota WTO : Jalan Bagi Transformasi Rezim WTO

Filed under: Uncategorized — kopiitudashat @ 7:48 am

Abstract:
This article evaluates the emerging of China in world trade system, especially after her accession in World Trade Organization as the commerce regime. The article develops two interdisciplinary frameworks for the issue, included inductive analysis and transformation of regimes approaches that is based on some concepts like distribution of power and counter regimes. The objectives of the article are to find the implications of China‘s accession in World Trade Organization both for the regime itself and for United States as the dominant power inside the regime. Implications of the frameworks are discussed to emerging any alternative for the regime’s future.

Keywords: commerce regime, transformation of regimes, China’s global power, the declining of US domination

WTO sebagai Rezim Perdagangan Internasional
Dalam usaha mencapai kepentingannya, manusia dan kumpulan manusia dalam entitas negara akan melakukan segala cara yang diperlukan dengan menggunakan power yang dimiliki untuk kepentingan yang dituju (struggle of power). Ketika tiap negara saling mengerahkan power dalam satu area isu, maka akan terjadi perbenturan kepentingan yang akan menimbulkan kompetisi tidak sehat yang berusaha mereduksi kepentingan pihak lain untuk memaksimalkan kepentingannya sendiri. Untuk menghindarkan hal itu, diperlukan adanya suatu pengaturan yang mengatur mekanisme tiap anggota dalam meraih kepentingannya. Pengaturan inilah yang disebut sebagai rezim.
Rezim internasional adalah seperangkat prinsip, norma, aturan dan prosedur pengambilan keputusan dimana keinginan para aktor berbenturan dalam suatu isu . Sebagai suatu mekanisme pengaturan, rezim mempunyai empat unsur dasar yang diperlukan untuk menciptakan keteraturan itu yaitu prinsip, norma, aturan dan proses pengambilan keputusan. Dari 4 unsur di atas, prinsip dan norma adalah karakteristik utama adanya suatu rezim, karena perubahan pada prinsip dan norma berarti perubahan rezim secara keseluruhan. Sedangkan perubahan aturan dan prosedur pengambilan keputusan hanya akan mengubah akspek internal rezim tanpa mengubah satu rezim dengan rezim yang baru.
Salah satu area isu yang banyak melibatkan pertemuan kepentingan tiap aktor hubungan internasional adalah area perdagangan, oleh karena itu maka perdagangan juga perlu mempunyai rezim yang mengatur mekanisme perdagangan antar aktor hubungan internasional, baik negara maupun aktor selain negara. Rezim perdagangan internasional ini diwujudkan dengan keberadaan World Trade Organization (WTO) yang didirikan dengan tujuan untuk mewujudkan perdagangan dunia yang bebas, adil dan terbuka . WTO terbentuk sebagai hasil dari Putaran Urugay dan aktif beroperasi sejak 1 Januari 1995 sebagai transformasi dari General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang tidak mempunyai mekanisme yang ketat. WTO bermarkas besar di Geneva, Swiss.
Sebagai rezim perdagangan internasional, WTO mempunyai prinsip-prinsip dasar yang harus dipatuhi oleh paar anggotanya yaitu most-favoured nation, non-tariff measures, national treatment, transparency, dan quantitative restriction (quota) dengan norma utamanya adalah pengurangan hambatan perdagangan hingga seminim mungkin untuk mewujudkan pasar perdagangan yang bebas, adil dan terbuka. Sejak terbentuk hingga kini, WTO menerapkan sistem kebarat-baratan, terutama mengadopsi sistem Amerika Serikat (AS) yang merupakan kekuatan dominan dalam WTO. Banyak kebijakan WTO yang dibuat berdasarkan kepentingan AS dan negara-negara industri lainnya.
Posisi AS dan negara-negara Eropa kemudian terancam ketika pada 10 November 2001, China resmi menjadi anggota WTO. Sebelum bergabung, China telah menjadi kekuatan industri sekaligus pasar yang sangat diperhitungkan oleh anggota-anggota WTO, terutama dalam bidang elektronik dan komputerisasi. Pangsa China di pasar elektronik AS meningkat dari 9,5 % pada tahun 1992 menjadi 21,8 % pada 1999. Kontribusi China terhadap produksi komputer dunia naik dari 4 % pada 1996 menjadi 21 % pada 2000. Pangsa China terhadap total produksi hard disk dunia juga naik dari 1 % pada 1996 menjadi 6 % 2000 .
Dari data-data di atas, dapat dilihat bahwa sebelum bergabung dengan rezim perdagangan WTO, China telah menjadi kekuatan industri yang besar dan berprospek tinggi. Dapat dipahami bila kemudian ketika China bergabung dengan WTO, negara-negara yang telah mapan sekaligus memegang kemudi atas WTO itu merasa terancam atas keberadaan dan perkembangan China yang semakin pesat.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah masuknya China ke dalam WTO akan membawa perubahan pada prinsip-prinsip yang telah mapan di WTO sekaligus mempengaruhi posisi dan dominasi Barat di WTO. Dalam menganalis permasalahan ini, penulis menggunakan analisis induksi yang akan menjelaskan bentuk perubahan pada rezim. Analisis induksi ini juga akan diperkuat oleh pendekatan transformasi rezim menurut Oran Young yang akan menjelaskan bagaimana kekuatan hegemon dapat dipatahkan oleh kekuatan yang baru muncul.
Menurut analisis induksi, tiap rezim dibentuk berdasarkan kepentingan dan tujuan dari masing-masing anggotanya. Ketika tujuan dan kepentingan ini berubah maka prinsip dan norma akan berubah. Jika prinsip dan norma berubah, maka rezim ini juga berubah. Perubahan dapat terjadi secara evolusioner dan revolusioner. Perubahan secara evolusioner akan terjadi bila perubahan terjadi dalam norma yang merupakan dasar terbentuknya suatu rezim, namun distribution of power antar negara anggota tidak mengalami perubahan yang signifikan. Sebaliknya, perubahan revolusioner terjadi karena transisi power. Dalam rezim, pasti ada pihak mendapat keuntungan lebih besar dan ada yang mendapat keuntungan lebih kecil atau bahkan merugi karena norma dan aktivitas dalam rezim itu. Pihak yang dirugikan tetap memilih untuk mengambil bagian dalam rezim karena jika tetap bersikukuh untuk keluar dari rezim maka harga yang harus dibayar akan jauh lebih mahal. Walaupun seolah-seolah menurut, namun pihak yang dirugikan ini menyusun counter-regimes yang akan mengambil alih kekuasaan saat kekuatan dominan telah jatuh. Hal inilah yang disebut dengan transisi power .
Analisis induksi ini diperkuat oleh pendekatan transformasi rezim. Oran Young dalam artikelnya, Regimes Dynamics : The Rise and Fall of International Regimes, menjelaskan bahwa perubahan suatu rezim dapat terjadi karena kontradiksi internal maupun faktor eksternal . Kontradiksi internal ini dapat berupa konflik yang tak dapat diselesaikan atau berupa pengembangan karakter suatu rezim. Karakter ini berubah karena perubahan dalam distribution of power, misalnya penurunan power aktor dominan.
Berdasarkan pendekatan yang telah disebutkan, maka penulis berargumen bahwa masuknya China sebagai anggota resmi WTO akan membawa perubahan yang signifikan pada WTO sebagai rezim perdagangan, dan sekaligus juga membawa dampak perubahan pada AS dan Uni Eropa (UE) sebagai anggota dominan dalam WTO.

China, Sang Naga Tidur yang Telah Bangun
Kehebatan dan ketangguhan China sudah tidak lagi diragukan. Bahkan Napoleon Bonaparte mengatakan ‘biarkan China terlelap, sebab jika China terbangun, dia akan mengguncang dunia’. Dengan status China sebagai anggota WTO, maka China harus menyesuaikan kebijakan domestik dan luar negerinya dengan prinsip dan norma yang telah disepakati dalam dalam WTO, utamanya norma penghilangan hambatan tarif dalam perdagangan. Oleh karena itu, dalam jangka waktu 2004-2010, China telah menurunkan tarif komoditas pertanian hingga 15%, dan untuk komoditas industri hingga 8,9 % . Selain itu, China juga menjalankan prinsip national treatment dengan mempermudah regulasi investor asing dalam penanaman modalnya sekaligus ikut serta dalam aktivitas perdagangan dan perekonomian China. Jika sebelumnya kepemilikan properti dan korporasi menjadi monopoli pemerintah, maka pasca 2001, kepemilikan korporasi di China terbuka untuk pihak swasta.

Keterbukaan dan strategi massalisasi produk yang dilakukan China membuat produk-produk China semakin kompetitif dan membanjiri pasar internasional sehingga mengungguli produk negara industri lainnya seperti AS, Jepang dan India, apalagi dengan berbagai kemudahan yang ia dapatkan setelah resmi menjadi anggota WTO. China mengancam eksistensi negara industri yang telah mapan sebelumnya karena China telah menggeser fokus perekonomiannya dari sektor pertanian (primary industry) menjadi sektor industri manufaktur (secondary industry) dan jasa (tertiary industry).

Jika dilihat dari daya beli masyarakatnya, pada tahun 2006 China dapat dikatakan sebagai kekuatan ekonomi terbesar kedua setelah AS, apalagi pada tahun yang sama surplus neraca pembayaran yang diperoleh China mencapai 180 milyar dolar yang merupakan nilai tertinggi di dunia . Selain itu, China telah menjadi exportir terbesar ketujuh dan importir terbesar kedelapan untuk perdagangan barang, serta termasuk dalam 12 eksportir dan importir terbesar untuk bidang jasa . Seperti yang ditunjukkan oleh tabel di bawah ini bahwa pendapatan China setelah resmi menjadi anggota WTO meningkat sebanyak 2,2%. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju, apalagi negara berkembang lainnya.

Hal inilah yang dipandang sebagai ancaman terbesar bagi AS dan negara maju lainnya karena sebelumnya, negara-negara Utara –istilah yang digunakan untuk menyebut negara maju – inilah yang menguasai perdagangan dunia sehingga dapat menyetir tiap kebijakan dan perundingan yang berjalan di WTO, seperti misalnya perundingan di Doha tentang pencabutan subsidi pertanian di Doha yang berjalan cukup alot karena pihak Utara yang tidak mau mengabulkan keinginan negara berkembang –yang saat itu diwakili oleh India- untuk mencabut subsidi pertanian negara maju.
Dengan munculnya China sebagai negara Selatan yang mampu menguasai perekonomian dunia, maka negara maju khawatir bila kepentingannya yang selama ini telah mapan kemudian tereduksi dengan kedatangan China. Apalagi dengan kenyataan bahwa produk industri yang selama ini menjadi ‘ladang emas’ negara Barat ternyata menjadi kurang kompetitif ketika China muncul di pasaran. Survei yang dilakukan Kamar Dagang Eropa pada 2007 menunjukkan, sebanyak 34% responden merasakan dampak negatif dari bergabungnya China dalam keanggotaan WTO, naik drastis dari tahun 2006 yang hanya mencapai 4% .
Berbagai data yang menunjukkan kemajuan China mengalahkan pendapatan Jepang dan negara maju lainnya seperti AS dan UE, sekaligus gambaran yang telah disinggung sebelumnya tentang ketidakpuasan Eropa membuktikan bahwa telah terjadi penurunan power kekuatan dominan yang diikuti dengan naiknya kekuatan baru yang mengancam eksistensi kekuatan dominan itu. Perubahan distribution of power ini, menurut analisis induksi, secara bertahap akan mengakibatkan perubahan dalam rezim itu, perubahan yang disebut sebagai perubahan revolusioner.
China yang mewakili negara berkembang, menurut analisis penulis, dengan power yang dimiliki akan membentuk counter regimes dengan merangkul negara berkembang lainnya untuk memperjuangkan perubahan-perubahan terhadap kebijakan yang kurang menguntungkan, yang akan dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya, serta memperkuat posisi tawar negara Selatan dalam perundingan sehingga mampu memberikan pertahanan terhadap tekanan yang diberikan oleh negara Utara.

Aturan WTO yang Rentan Terhadap Pengaruh China
Secara umum, ada beberapa aturan WTO yang dipertanyakan oleh negara berkembang namun tetap dipertahankan oleh negara maju, seperti prosedur pengambilan keputusan dengan menggunakan metode konsensus dimana keputusan tidak akan terlaksana tanpa kesepakatan dari keseluruhan 140 anggota sehingga prosedur ini lebih merupakan alat negara maju untuk menahan kebijakan yang diajukan negara berkembang. Kemudian permasalahan subsidi yang telah menjadi bahan perundingan yang sukar mencapai kata sepakat dimana negara maju memberikan subsidi tidak langsung bagi petani mereka namun memaksa negara berkembang untuk menghilangkan subsidi bagi pertaniannya. Negara maju juga memberikan subsidi bagi infant industries negara mereka dan lolos dari kerangka WTO karena mereka melepas subsidi itu ketika perusahaan yang bersangkutan sudah go international. Dengan kondisi internal China yang belum benar-benar menghilangkan intervensi pemerintah, maka China akan berusaha mengubah dan melakukan redefinisi terhadap subsidi yang dimaksudkan dalam piagam WTO.
Aturan lainnya yang menjadi perhatian China adalah mengenai safeguards mengingat nasionalisme China menganggap compliance terhadap institusi supranasional adalah kegagalan pemerintah. Berikutnya, China juga merasa perlu mendekonstruksi mekanisme penyelesaian perselisihan mengingat entitas China sebagai negara dengan power yang besar dalam perdagangan akan banyak mendapat kendala dan tantangan seperti yang juga dialami oleh AS dan UE yang telah terlibat dalam lebih dari separuh kasus yang diselesaikan oleh WTO. Mekanisme penyelesaian perselisihan yang melibatkan banyak pengacara akan menyulitkan China , karena negara tirai bambu itu hanya mempunyai 100.000 pengacara atau 11000 orang penduduk tiap 1 pengacara. Jumlah yang tidak seimbang bila dibandingkan dengan 300 penduduk AS yang diwakili oleh 1 pengacara.

Wajah Baru WTO
Dengan proses transformasi seperti itu, ada beberapa skenario yang oleh penulis digunakan untuk menggambarkan ‘wajah’ WTO ke depannya. Skenario pertama, aturan dan prosedur dalam WTO akan bergeser ke arah posisi yang semakin menguntungkan negara berkembang. Perubahan ini tidak akan mengubah rezim WTO secara fundamental, tetapi lebih ke arah penguatan atau kemunduran rezim itu sendiri. Dalam kaitannya dengan perubahan rezim ini, maka yang terjadi adalah semakin melemahnya rezim akibat penurunan kekuatan dominan, dalam hal ini AS dan Eropa. Kekuatan China yang muncul tidak akan mampu mengakomodasi rezim secara keseluruhan karena China dan negara Timur lainnya tidak memiliki sifat untuk menjadi leader dalam rezim itu.
Selama ini AS bersedia menjadi leader karena sifat ideosinkretis AS dan negara-negara Eropa lainnya yang mempunyai mental kolonial dan white man’s burden yang masih terbawa dimana negara-negara kolonial merasa mengetahui yang terbaik untuk bekas jajahannya sekaligus mempunyai sifat dasar untuk ‘mengayomi’ dan menguasai dunia secara global. Apalagi AS dengan manifest destinynya. Sifat-sifat inilah yang membuat AS bersedia mengeluarkan banyak biaya untuk mengakomodasi rezim yang dipertahankannya, satu hal yang tidak dimiliki China. Tentu saja faktor ideosinkretis ini juga didukung oleh kepentingan AS dalam kebijakan luar negerinya. Menurunnya leader akan membuat anggota-anggota lainnya saling bersaing dan menjatuhkan satu sama lain sehingga melemahkan rezim itu sendiri.
Skenario kedua adalah perubahan fundamental, atau yang disebut sebagai perubahan evolusioner menurut analisis induksi, yaitu perubahan prinsip dan norma rezim secara mendasar yang akan mengubah rezim itu secara keseluruhan. Dengan meningkatnya posisi tawar negara berkembang, maka bisa jadi prinsip dasar WTO yang sebelumnya adalah free trade berubah menjadi fair trade. Dengan fair trade, maka prosentase penurunan tarif bagi negara maju dan negara berkembang akan lebih adil .
Skenario ketiga adalah munculnya China sebagai diplomatic leader. China dinilai memiliki track record lebih baik dibanding dengan sesama raksasa perdagangan seperti UE dan AS. Nantinya bentuk diplomasinya akan lebih mengarah pada koalisi, regionalisme dan perselisihan klaim kedaulatan (terutama menyangkut masalah Taiwan). Apalagi dengan sifat China yang gemar dan mudah mencari koalisi.

Kesimpulan
Perubahan besar-besaran China di bidang perekonomian yang telah dimulai sejak era Deng Xiao Ping memunculkan China sebagai kekuatan industri yang disegani. Bahkan sebelum menjadi anggota resmi WTO, China telah mengambil peran yang besar dalam perdagangan dunia. Walaupun secara ekonomi China menganut sistem ekonomi pasar, terutama setelah bergabungnya China sebagai anggota WTO, namun secara politik dan prosedur kenegaraan China masih memegang nilai-nilai sosialis. Dengan sifat ekonomi yang tidak terlepas dari politik, masuknya China akan membawa perubahan pada prinsip-prinsip WTO sebagai rezim perdagangan. Terbukti pada tahun kedelapan keanggotaan China, China telah mampu memberi pengaruh yang besar pada anggota WTO yang lain, khususnya menjadi counter regime bagi kemunduran AS dan UE sebagai kekuatan dominan.
Dengan berbagai fakta dan data yang disampaikan sebelumnya, ditambah dengan beberapa skenario yang menggambarkan prediksi penulis tentang keberadaan rezim WTO di masa depan, maka dengan demikian tesis yang diajukan penulis dalam hal ini terbukti.

Referensi:
Anonim.23 November 2007.Masuk WTO, China Rugikan Eropa.http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2007/11/23/19/63022/masuk-wto-china-rugikan-eropa/masuk-wto-china-rugikan-eropa.Diakses pada 21 Juni 2009
Anonim.Direktorat Hubungan Perdagangan Multilateral dan Regional Departemen Perindustrian dan Perdagangan RI. World Trade Organization sebagai Lembaga Pelaksana dalam Mewujudkan Liberalisasi Perdagangan Dunia. p.1
CIA – The World Factbook
D Krasner, Stephen.1984.International Regimes. London: Cornell University Press
E Stiglitz, Joseph.2002. Globalization and It’s Discontents.New York:W.W.Norton & Company Ltd
Fuady, Munir.2004.Hukum Dagang Internasional:Aspek Hukum dari WTO.Bandung:PT Citra Aditya Bakti
Hartati Samhadi, Sri.Globalisasi dan Indonesia 2030. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/20/sorotan/2658725.htm.Diakses pada 21 Juni 2009
J.Cohen, Benjamin.2008.International Political Economy:An Intellectual History.New Jersey: Princeton University Press
J Puchala, Donald and Raymond F.Hopkins.1983.International regimes : lessons from inductive analysis.New York:Cornell University Press.
R.Young, Oran.’Regimes Dynamics : The Rise and Fall of International Regimes’ in Stephen Krasner (ed).International Regimes. London: Cornell University Press
Z.Cass, Deborah et al (eds).2003.China and The World Trade System: Entering the New Millennium. New York: Cambridge University Press

Leave a Comment »

No comments yet.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a comment

Blog at WordPress.com.